[picture taken from khadimulQur’an]
Mencoba refreshing dari setumpuk laporan yang meletihkan mata, rindu menulis, dan menulis. sekalipun sadar diri mungkin tulisan di WP ini mungkin tidak begitu menginspirasi.. ya, hanya ingin mencoba berbagi..
Oya, beberapa bulan lalu, kampus tercinta kedatangan tamu-tamu alias mahasiswa/i dari negeri jiran. Sebelumnya sudah ada beberapa pelajar jiran yang datang, dan ini tentu suatu kehormatan bagi kampus kami tercinta, dipercaya untuk menjadi tempat pembelajaran bagi mahasiswa/i luar. Saya pun sempat berkenalan oleh mereka, memang tidak semuanya, hanya beberapa akhowat saja yang saya kenal. Banyak kisah, pengalaman, kenangan dan ilmu yang saya dapatkan. Betapa kiranya muslimah malaysia itu begitu membuat saya berdecak kagum dengan pemahaman keislamannya, bahkan ada pula yang hafal qur’an, berbusana nya yang khas melayu dengan corak bunga-bunga atau motif besar dan berwarna cerah pun jilbab nya yang labuh(panjang), begitu meneduhkan mata memandang. Sangat kontras dengan muslimah indonesia yang sekarang sedang keranjingan trend hijab gulung sana gulung sini, dengan make up menor, walaupun cantik, sungguh tidak meneduhkan mata yang melihat. ya, memang tidak semua, masih banyak pula muslimah nya yang keukeuh menjaga diri nya dengan hijab syar’i, dan tidak kalah meneduhkan dengan muslimah malaysia.. hehe..
Saya ingin sedikit bercerita tentang perkenalan saya dengan beberapa diantara mereka, kekaguman mereka, ketidaksangkaan mereka dan banyak hal.. kita awali dari masalah interaksi pria wanita, salah seorang ukhti dari negeri jiran tersebut, sebelum menginjakkan kakinya di indonesia sering mendengarkan penilaian-penilaian miring dari teman dan kerabatnya mengenai indonesia, masa negeri indah penuh budaya ini dinilai kurang terhormat dengan sebutan negara sekuler, karena tidak menerapkan syariat layaknya malaysia.. oke lah, tak mengapa, karena saya pun menyadari keislaman di indonesia tidak lah sama atmosfernya seperti dimalaysia.. karena keragaman budaya, agama dan toleransi membuat indonesia terkesan sekuler dimata mereka.. entahlah sekuler seperti apa yang mereka maksud kan..
termasuk pergaulan, ia langsung berucap sinis ketika melihat ada sekumpulan mahasiswa/i di kampus kami berjalan bersama, tertawa bersama, makan bersama, belajar bersama, intinya berbaur. Ya, bagi kita yang paham syariat dan pola interaksi tentulah hal tersebut sudah menjadi bagian prinsipal, hindari ikhtilat (campur baur) untuk saling menjaga kehormatan diri, menjaga diri dari fitnah dan keburukan-keburukan yang bisa timbul karena seringnya bercampur baur, tapi mereka tidak paham bahwa ada saudara/i kita yang mungkin belum mendapatkan ilmu mengenai pola interaksi dengan lawan jenis, bagaimana menjaga diri, bersikap, berbicara bahkan belajar bersama. Saya katakan pada nya, bahwa dakwah di indonesia sangat toleran, kita tidak hanya diam ketika melihat kondisi yang tidak enak dimata, mereka menjadi tanggung jawab kita, mereka lah yang menjadi prioritas dakwah kita. bukankah mengenal islam itu butuh proses dan tentunya butuh orang yang mampu menyampaikannya dengan bijaksana. Dibandingkan dengan malaysia, memang indonesia belumlah seberapa untuk penerapan syari’at islam terutama dilingkungan perkuliahan.
Sang ukhti bercerita, bahwa dikampusnya, tidak pernah ada terlihat lelaki dan perempuan berbincang berdua dengan berlama-lama, atau berkumpul bersama lawan jenis untuk hal-hal yang tidak penting. Pasti akan mendapatkan teguran atau tatapan tajam dari sekitarnya. Bahkan sekalipun ada yang pacaran, mereka tidak pernah memperlihatkan kedekatannya dimuka umum, selalu sembunyi-sembunyi dan itu tetap saja tidak baik. Waooww.. masyaaa allah, saya kagum dengan ceritanya. membayangkan jika semua kampus diindonesia bisa demikian, namun sekali lagi, muslim tidak lah sendiri di negeri ini, ada pula pemeluk agama lain yang memiliki pola pemahaman tentang interaksi yang berbeda-beda..
Belum lagi ketika beliau kecewa, melihat teman-teman dari kampusnya akhirnya ikut-ikutan bebas seperti mahasiswa/i di kampus kami yang terbiasa berboncengan sekalipun hanya teman biasa, atau makan berdua, bertiga dst berhadapan dalam satu meja makan. Saya hanya terdiam. Tidak sepenuhnya saya menolak ungkapannya, karena saya yakini, bahwa semua kekhawatirannya lahir dari ketaatan yang begitu adlam terhadap syariat, terhadap perintah dan larangan-larangan Allah yang telah mendarahdaging. Namun, bukanlah hal yang bijak, menilai buruk suatu negara hanya karena perbedaan budaya, sosial, keberagaman agama bahkan kebiasaan masyarakatnya.
Ia pun kembali bercerita, bahwa candaan orang indonesia itu kadang berlebihan, sekalipun ia tetap terbahak dan tertawa lebar ketika mendengar celotehan kami saat bercanda. Saya menyadari hal tersebut karena suatu ketika, saya dan beberapa teman-teman muslimah (aktifis) kampus berkumpul bersama muslimah malaysia, lalu kami bercanda, sungguh bercandaan yang menurut kami biasa saja (mungkin), namun direspon salah satu diantara mereka, mereka jarang bercanda seperti kami,
krik.. krik..
Tak lama kawan saya nyeletuk..
“Pantas saja mereka kaku-kaku..” hehe..
Saya bilang, candaan orang indonesia itu bukan untuk membuat jarak, tapi lebih kepada mencairkan suasana agar bisa membangun atmosfer kekeluargaan bagi tamu-tamu yang baru dikenal, termasuk mereka. sehingga mereka nyaman dan merasa diterima menjadi bagian dari masyarakat indonesia.
Lalu, sang ukhti jiran pun mengangguk mengiyakan dengan senyum lebar.
Ada lagi.. apa yaa.. hmm.. oia, untuk kampus-kampus ternama di malaysia, mereka selalu diwajibkan berbahasa inggris dan arab, sehingga waktu itu membuat kami, akhwat-akhwat ammah ini gigit jari dengan kemampuan berbahasa mereka, sekalipun sedikit geli ketika mendengar bahasa gado-gado (melayu campur inggris)..
Ukhti A ini, terlihat sekali tidak betah di jogja.. waaahhh.. ini aneh.. sangat aneeehhh.. siapapun orang yang pernah ke jogja, pasti akan merindukan jogja dan merindukan keramahtamahan warga nya. Lha, kok si ukhti ini malah sebaliknya. Apa pasal?
ya, karena ia sedang berkonflik dengan teman satu kamarnya yang juga sesama jiran. gesekan-gesekan semakin terasa dikarenakan ia harus sekamar dengan muslimah yang pemahaman agamanya mungkin belum sebaik beliau. Ada hal-hal prinsip yang mungkin dimata syariat harus dilakukan dan dihindari namun justru dilakukan. Perbedaan watak, dan juga ketidakbiasaan hidup sekamar berdua dalam jangka waktu lama, belum lagi kamar yang sempit, harganya mahal, sifat yang berbeda.. sehingga membuatnya ingin segera pulang agar tidak berlama-lama dengan ketidakcocokan terhadap teman seperjuangannya.
lalu, saya dan teman saya berpikir, kenapa toleransi diantara mereka begitu rendah? apa mungkin memang di malaysia seperti itu? entahlah, saya dan teman saya belum kesana, tentu dengan melihat dan mendengar cerita mereka, kami harus mempersiapkan image yang baik dan kelapangan hati ketika kelak bertandang ke malaysia untuk sekedar liburan. Wah, apakah kami akan dianggap sebelah mata? apakah kami akan disambut dengan hangat/ atau justru sebaliknya?
Belum lagi ketika ia terkesan sedikit menyindir, bahwa di malaysia kebanyakan orang indonesia bekerja sebagai pekerja rendahan. Hiks, kami tertegun. sedangkan mereka tidak pernah mau bekerja seperti itu ketika memutuskan keluar negeri.
Saya pun berujar, apa ada yang salah dengan pekerjaan tersebut? justru mereka itulah pahlawan negara yang menjadi salah satu sumber devisa bagi negara kami. Apakah kemuliaan suatu bangsa hanya dilihat dari pekerjaan orang-orangnya? apakah mereka tahu, TKI bahkan TKW yang bekerja disana, lebih mulia karena tidak hanya menengadah tangan dijalan-jalan, mereka bekerja dengan memikirkan masa depan keluarganya dikampung halaman, anaknya, suaminya. Apakah perjuangan itu bernilai rendahan? *sampai disini sedikit emosi
lalu kami bertanya kembali, mengapa TKI dan TKW kami justru banyak disiksa disana? mengapa kemanusiaan begitu tidak ada harganya? bukankah malaysia negara yang menerapkan syariat islam? mengapa.. dan mengapa..
sebelum mereka menjawab, saya menjawab nya seperti ini..
“Sama hal nya indonesia, disana tidak semuanya muslim, muslim pun tidak menjamin baik akhlak dan agamanya, saya yakin di malaysia masih banyak yang akhlaknya baik”
lalu, sang ukhti pun terdiam, mengangguk mengiyakan, menunduk malu.
Ada banyak hal yang kami sharing-kan, termasuk ketika salah satu diantaranya, dengan senang nya memamerkan cream penghilang jerawat plus memtuihkan wajah yang di belinya dengan harga murah meriah di sebuah tempat perbelanjaan. Awalnya saya curiga, bahwa cream yang dibeli bukanlah cream resmi atau dalam arti kata tidak rekomended untuk digunakan, bukan hal yang tabu lagi, diindonesia sudah berjamur pedangang cream wajah oplosan yang berani menjual cream racikannya secara bebas dengan harga murah dan mampu memberikan hasil yang mencengangkan, wajah bisa putih hanya dalam hitungan minggu, tentu, dengan resiko kulit wajah akan ketergantungan dan akan menjadi rusak ketika si pemakain berhenti memakai nya, namanya juga cream oplosan, diracik seenak udel tanpa mempertimbangkan sisi kesehatan bagi tubuh, ditambah dengan hydroquinone tinggi yang tentu sangat berbahaya bagi kulit. Lalu saya menegur diantara akhowat itu dengan pelan dan sangat berhati-hati takut mereka tersinggung, tapi ya sepertinya masukan saya tidak begitu ditanggapi dan tibalah keesokan harinyaaa..
saya temui akhowat yang memakai cream tersebut, dengan wajah menunduk malu ketika saya menyambangi ke kost-an nya, ia tampak khawatir melihat jerawat nya yang memerah alias agak meradang, sesuai tebakan saya, kiranya ia menggunakan cream tersebut semalam dan berimbas buruk terhadap jerawat nya yang kemarin sudah mengering (hanya bersisa noda bekas jerawat dan beberapa jerawat yang hendak mengering), lalu sang akhowat jiran tadi bergegas mengambil cream g*rnier untuk menutupi kemerahan pada jerawat nya tersebut, namun segera saya melarangnya, saya beri tahu, bahwa jerawat radang seperti itu jangan diberikan apa-apa termasuk kosmetik, dibiarkan saja dan rajin dibersihkan, kalau memang mau diobati sebaiknya dengan menggunakan obat-obatan resep dokter kulit. Bukannya ditanggapi dengan baik, justru sang akhowat tersebut terlihat tidak suka dengan masukkan saya yang menyebabkan beliau mendiami saya beberapa hari. Huuffttt, entahlah, apa yang saya harus lakukan untuk memberikan masukkan, padahal saya sudah menyampaikannya dengan hati-hati dan sangat2 memperhatikan pemilihan kata-kata termasuk menjaga intonasi suara, sangaaattt lembut.. hal tersebut saya ceritakan kepada teman kontrakan saya, teman saya pun geleng2 kepala mendengar cerita saya tadi..
“ko mereka sulit ya kalau diberi masukkan?”, ucap nya dengan dahi yang mengkerut. Apa mungkin mereka tidak terbiasa dengan pola komunikasi yang terbuka? atauuuu?
saya hanya diam saja. merasa serba salah. sebagai orang asli negara indonesia, tentunya saya ingin memberikan kesan yang baik terhadap tamu termasuk menginformasikan kepada tamu hal-hal yang perlu mereka hindari demi kebaikan diri mereka. Lha, tapi kok penyikapan mereka ke kami malah sebaliknya?? lieuuuurrr..
ya intinya, entah karena memang konflik tetangga yang tak pernah ada habisnya, entah karena ketidaksukaan, keirian dan segala hal yang melatarbelakangi negara jiran tersebut sepertinya kurang welcome dengan indonesia.. wallahua’lam..
ya bagaimanapun, saya menghargai mereka dan berharap mereka yang notabene berstatus muslim dengan pemahaman syariat yang insya allah lebih baik dari indonesia, bisa menghargai muslim khususnya warga indonesia yang bertandang ke negara mereka. semoogaaa.. aamiinnn
0.000000
0.000000